
Bukan Palestina, Ini Negara Paling Ditakutkan Israel
MGO777 – Tekanan di antara Israel dan Iran menghangat sesudah gempuran Israel ke Lajur Gaza dan Pinggir Barat (West Bank). Sebuah kemungkinan ada “perlakuan penangkalan” pada Israel dalam kurun waktu dekat juga tengah digaungkan.
Menurut Presiden Iran Ebrahim Raisi, Israel sudah “melebihi garis merah” di Gaza. Dia menyebutkan keadaan yang diakibatkan Israel kemungkinan memaksakan semuanya orang untuk ambil perlakuan.
“Kejahatan pemerintahan Zionis sudah melalui garis merah, yang mungkin memaksakan semuanya orang untuk ambil perlakuan. Washington minta kami tidak untuk lakukan apapun itu, tetapi mereka masih tetap memberi support luas ke Israel,” kata Raisi.
“AS menyampaikan pesan ke Kutub Perlawanan tetapi terima tanggapan yang terang di medan perang,” imbuhnya, seperti d ikutip CNN International.
Sekarang ini, kampanye militer Israel yang terus-menerus di Gaza sudah memunculkan kekuatiran jika bakal ada semakin banyak front yang terbuka. Iran bersekutu dengan Hamas dan Hizbullah dari Lebanon, yang terturut dalam baku tembak dengan Israel dalam beberapa saat akhir.
Israel bahkan juga disampaikan ada di tingkat perang besar dengan Hizbullah bersamaan dengan menghangatnya perang menantang Hamas yang sudah merusak beberapa daerah Gaza.
Dikutip The Guardian, sejumlah front di Israel sekarang semakin kosong, sesudah berkali-kali terjadi gempuran roket dan rudal dan benturan tepian pada beberapa hari akhir dengan pihak Hizbullah dan Palestina yang aktif di Lebanon. Situasi di semua Israel sedang kacau-balau, keyakinan pada tentara dan negara menghilang.
Jalinan yang Semakin Lebih buruk
Semenjak dibangun di tahun 1979, Republik Islam Iran sudah memberikan dukungan barisan Palestina MGO55 dalam perjuangan mereka menantang pasukan Israel. Dampak Teheran dalam perselisihan Palestina-Israel makin bertambah dengan krusial, khususnya dengan timbulnya Hizbullah di Lebanon dan Jihad Islam Palestina (PIJ) di Lajur Gaza.
Revolusi tahun 1979 mengidentifikasi usainya jalinan dekat Iran dan Israel, mengganti mereka jadi lawan bebuyutan, dengan teror perang mati-matian. Tidaklah aneh sepanjang 75 tahun akhir, jalinan di antara Iran, Israel, dan Palestina alami fluktuasi yang menegangkan, seperti disampaikan The New Arab.
Saat sebelum revolusi tahun 1979, saat beberapa negara Arab di Timur tengah berbeda dengan Israel dan menampik mengaku kedaulatannya, pemerintahan diktator Shah memberikan dukungan pemukim di daerah wargaan Palestina.
Di bawah pimpinan Shah, Iran mengaku Israel sebagai negara berdaulat di tahun 1950. Tetapi, jalinan bilateral ke-2 negara melamban di awal tahun 1950-an. Sesudah kup tahun 1953 yang ditata oleh CIA dan MI6, Shah memperoleh lagi kekuasaan dan jadi sekutu paling dekat Amerika Serikat, dan rekan khusus Israel di daerah itu.
Bekerja sama ekonomi, politik, dan militer di antara ke-2 negara berkembang bersamaan bertambahnya komunitas pejuang slot gacor kemelut di antara Israel dan beberapa negara Arab di tahun 1960-an dan 1970-an.
Di tahun 1957, Shah, yang sedih dengan pembangkang nasionalis dan sayap kiri, membangun salah satunya tubuh intelijen terpopuler dan beringas di Timur tengah, SAVAK, dengan kontribusi dari dinas intelijen Israel Mossad.
Walaupun tingkat kerjasama militer di antara ke-2 negara saat sebelum revolusi tahun 1979 disembunyikan, document yang bocor mengutarakan jika mereka setuju untuk meningkatkan mekanisme rudal hebat di bawah code Proyek Flower.
Kerjasama ekonomi dan energi di antara Teheran dan Tel Aviv
Kerjasama ekonomi dan energi di antara Teheran dan Tel Aviv penting saat memberikan dukungan Israel sepanjang perselisihan dengan beberapa negara Arab di tahun 1967 dan 1973. Ini diraih lewat sebuah perusahaan internasional yang dibangun bersama oleh ke-2 negara di Panama dan Swiss, yang dikenali sebagai Trans-Asiatic Oil, dan lewat beberapa proyek rahasia seperti Pipa Minyak Eilat-Ashkelon di saat produsen minyak Arab berlakukan embargo pada Israel.
Sementara Iran dan Israel secara krusial perkuat jalinan mereka, gerilyawan kiri Iran, yang melawan Shah, gabung dengan kamp pergerakan Fatah di Yordania dan Lebanon, di mana mereka berperang menantang tentara Israel dan mendapat pengalaman dalam perang gerilya untuk pada akhirnya kembali lagi ke Iran.
Ayatollah Rouhollah Khomeini, figur politik Iran yang lain, mengomentari Israel. Sesudah Perang Enam Hari, ayatollah garis keras Iran keluarkan Fatwa yang mengatakan ke beberapa penganutnya jika merajut jalinan politik dan ekonomi dengan Israel dan konsumsi beberapa produk Israel dipandang “haram”.